Diary

Mereka berbicara lagi. Aku mendengarnya. Aku benar-benar mendengarnya. Benarkah? Entahlah. Apakah itu hanya halusinasi? Hanya delusi? Aku tidak tahu. Tapi aku mendengarnya.

Mereka membicarakanku. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak suka sikapku. Mereka bilang mereka kesal karena aku terus-terusan mengurung diri di dalam kamar. Mereka bilang aku sombong karena aku terus memilih untuk sendirian. Mereka bilang aku individualis. Anti sosial. Cupu. Kuper. Entahlah apa lagi julukan yang mereka tujukan padaku.

Tapi, tak tahukah mereka apa alasanku mengurung diri di kamar? Lebih memilih sendirian daripada berkumpul dan bergosip bersama mereka? Tak tahukah mereka? Ingin tahukah mereka? Pedulikah mereka? Pedulikah mereka pada alasan kenapa aku bersikap demikian? Pedulikah mereka padaku? 

Aku takut. Aku takut pada dunia luar. Aku takut pada orang-orang. Aku takut menghadapi dunia. Aku tahu aku hanyalah seorang pengecut yang hanya bisa mengemukakan isi pikiran melalui tulisan. Hanya melalui tulisan, aku dapat meneriakkan bahwa sebenarnya aku butuh pertolongan. Aku butuh bantuan pada sesuatu yang disebut teman.

Benarkah?

Entahlah.

Yang pasti, rasanya sakit saat orang-orang yang aku anggap teman, orang-orang yang aku sayangi justru membicarakan aku di belakang dan berbicara seolah-olah mereka membenciku. Lantas, sikap baik yang mereka tunjukkan di depanku itu apa? Sebuah sandiwara? 

Aku tahu sikap mengurung diri itu adalah sikap yang salah. Tapi apa boleh buat. Dunia luar sangat menakutkan. Aku takut dan kalian membuatku semakin takut. Kalian yang maha benar dan aku yang selalu salah. 

Sering aku berpikir bahwa aku harus berubah. Aku harus seperti kalian. Masuk ke dalam kaum mayoritas agar keberadaanku dapat disadari dan bila beruntung, mendapat pengakuan. 

Aku berkumpul bersama kalian, ikut bergosip membicarakan berbagai hal, dan itu menyenangkan. Tapi pada akhirnya, rasa panik kembali menyerangku. Aku merasa tidak aman. Aku merasa takut. Otakku tidak dapat berpikir jernih. Aku membutuhkan kesendirian, di dalam kamarku yang tertutup agar detak jantungku dapat kembali ke keadaan normal. Agar otakku dapat kembali berpikir jernih.

Aku pikir aku bisa gila. Keadaan ini sangat menyiksaku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasanya aku lebih baik mati. Tidur selamanya dalam damai tanpa perlu memikirkan apapun. 

Leave a comment